Jin Penunggu Sumur di Sebuah Pondok Pesantren

ruangmistis.xyz – aku tumbuh besar di lingkungan keluarga nenek dari pihak ibu, maka otomatis saya kerap berinteraksi dengan keluarga besar nenek. Nenek sendiri anak ke-2 berasal dari sebelas bersaudara, di mana dari sebelas bersaudara berikut empat diantaranya laki–laki, sebut saja namanya Mad, Wir, Abu, dan Ari. aku memanggil mereka bersama dengan panggilan mbah.
Keempat adik nenek berikut lulusan pondok pesantren di Jawa Timur, Ari mondok di media yang identik bersama Mad, Abu mondok di media yang persis bersama Wir. walau berbeda pondok namun masih di satu kota yang sama.
Menurut cerita berasal dari para kerabat, Wir itu bisa lihat hantu, begitulah cerita yang aku dengar semasa kecil. Cerita yang tetap aku ingat sampai saat ini adalah pengalaman Wir bersua bersama dengan Wewe Gombel di pohon rambutan samping mushola. Wewe Gombel tersebut tidak serupa bersama Wewe Gombel pada kebanyakan karena jalannya mundur.
Dibandingkan bersama dengan saudara nenek yang lain, Wir ini pendiam orangnya, meskipun pendiam namun ia dikenal pemberani, tempat angker di desa dulu dikunjunginya pada malam hari. Nah, ia membuka hobi memancing, saking pemberaninya, sungai-sungai yang dikenal angker didatanginya, pasti saja bersama target memancing ikan. Menurut percakapan nenek, Wir ini sewaktu di pondok pesantren termasuk puas memancing di Sungai Brantas.
Di th. 2021, suami berasal dari kakak nenek, bersama kata lain kakak ipar nenek itu meninggal dunia. layaknya lazimnya di desa-desa datang yang namanya tahlilan sampai 40 hari, sedangkan kebiasaan di keluarga besar saya di hari ke 8 hingga ke 39 sekedar diikuti oleh keluarga besar saja. Selesai tahlilan, dihidangkanlah makanan dan minuman, menikmati hidangan selanjutnya tentu saja sambil ngobrol.
Saya pun turut dalam pembicaraan para bapak-bapak, kendati sekedar hanya menyimak antara hari ke berapa tahlilan, aku lupa tepatnya, pembicaraan mengkaji berhubungan bersama dengan saat di pondok pesantren pernah Adik ipar nenek yang bernama Kapi mengawali cerita bahwa pernah mengirimkan duwit untuk anak di pondok itu tidak mengfungsikan pos, namun langsung hadir ke pondok biarpun jaraknya jauh.
Di kecamatan sarana saya tinggal, berasal dari pernah memang banyak orang tua yang memilih untuk memondokan anaknya, paling banyak di pondokan di Kediri. Mbah Kapi menceritakan bahwa satu bulan sekali digilir untuk ada ke Kediri membawa titipan uang berasal dari orang tua di rumah lantas nanti yang akan giliran itu datang ke pondok-pondok di Kediri untuk memberikan titipan itu tadi.
“Dari sini naik bus, kadang terhitung naik kereta api, nginapnya nanti di kamar santri” terangnya kepada aku yang duduk di sampingnya.
“Kamar yang ada jinnya di pondok pesantren A di mana para santri tidak datang yang berani tidur di situ tetap nggak yah?” tanyanya.
“Kira-kira jinnya tetap ingat nggak yah sama juga Kang Wir,” celetuk Mbah Ari, yang lantas diikuti gelak tawa yang lain.
“Sudah dirobohkan, beralih bangunan,” jawab Mbah Abu.
Lebih lanjut Mbah Abu menceritakan bahwa para santri tidak ada yang berani tidur di kamar selanjutnya dikarenakan saat tidur di kamar berikut dikala bangun berada di atas sumur. Jin berpostur tinggi dan besar itu menduduki sebuah lemari di kamar selanjutnya para santri juga tidak datang yang berani pakai lemari selanjutnya karena tentu yang mengfungsikan lemari selanjutnya sakit. sedangkan Mbah Wir berani tidur di kamar selanjutnya dan berani mengfungsikan lemari tersebut.
Mbah Wir mengamini apa yang diceritakan oleh Mbah Abu. Ia mengutarakan ia termasuk dulu dijahili oleh jin berikut (Mbah Wir menyebut nama jin selanjutnya sedangkan aku lupa nama jinnya), kala tidur ia dipindahkan ke dapur. kejadian berikut terjadi saat Sungai Brantas meluap di mana dapur pasti terendam banjir, sedangkan anehnya Wir mengapung di air.
“Awalnya bersahabat baik,” terangnya.
Mbah Wir menjelaskan bahwa singkat cerita Jin berikut merasuki dan mengendalikan dirinya, bersama kata lain mengalami kesurupan. perihal selanjutnya diketahui oleh kiai pengasuh pondok pesantren, Mbah Wir pun dikurung di kamar, dan kiai pun kewalahan.
“Waktu Kang Kapi ke pondok disuruh bapak itu semalamnya mengamuk parah saya saja nggak berani nemuin,” timpal Mbah Abu.
Akhirnya ia pun dibawa pulang ke tempat tinggal untuk diobati, Kiai menuturkan boleh kembali kembali ke pondok misalnya sudah pulih Mbah Wir diobati oleh pamannya (kakak dari ayahnya). bila kalian membaca kisah saya di awalnya yang menyembuhkan Mbah Wir itu kakek buyut aku jadi kakek dan nenek aku itu sepupu, lantas menikah, mengetahui kan (Jadi ayahnya kakek dan ayahnya nenek itu kakak beradik).
Jimat Teropong
Setelah pulih ia berangkat kembali ke pondok pesantren. Ia pun naik kereta api menuju Kediri. Jangan dibayangkan situasi kereta api zaman itu seperti sekarang ini, para pedagang asongan bebas muncul masuk. dikala kereta api memasuki Kediri, hadir kakek berbaju putih menawarkan 5 buah rambutan. tetapi tidak hadir satupun yang ingin membelinya, karena harganya mahal yakni 15 ribu. Nominal selanjutnya zaman itu ya besar sekali nilainya.
Kemudian oleh Mbah Wir dibeli, duit sakunya kebetulan sementara sekali 15 ribu. Ia tanpa pikir panjang membelinya, dikarenakan duwit berikut adalah duit bekalnya di pondok selama satu bulan. Selepas kakek berikut pergi, ia pun mengkaji rambutan tersebut kala dikupas, rambutan ke 1 dan 2 isinya kosong, rambutan ke 3 dan 4 isinya sekedar biji. Nah, disaat rambutan kelima dikupas isinya jimat teropong.
Beberapa penumpang pun berupaya untuk menawar jimat teropong berikut dengan harga berapapun. namun Mbah Wir menolaknya. jadi jimat teropong selanjutnya bentuknya cincin, bersama dengan permata yang berlubang. Menurut Mbah Wir, lubang tersebut fungsinya seperti teropong, bisa menyaksikan media yang jaraknya jauh.
Akan tetapi jimat teropong berikut hilang, tatkala Mbah Wir baru lulus berasal dari pondok pesantren. Hilangnya membuka hilang gara-gara dicuri, sedangkan jatuh entah ke mana. Malam harinya setelah hilang, Mbah Wir didalam mimpinya didatangi oleh kakek berbaju putih.
Dalam mimpi tersebut kakek berbaju putih menuturkan kudu puasa 40 hari dengan menu sahur dan berbuka bersifat singkong sebesar ibu jari. Maka bersama sendirinya jimat berikut dapat kembali sedangkan Mbah Wir tidak kerjakan perihal itu.
Kelong Wewe Laki-Laki
Rumah-rumah di keluarga besar nenek saling berdekatan satu sama juga lain, di tengahnya terdapat mushola keluarga yang digunakan sebagai kesibukan keagamaan di kampung. Di samping mushola terdapat pohon rambutan. Di pohon itulah dihuni oleh Wewe Gombel yang jalannya mundur. Mbah Wir yang seringkali pulang malam berasal dari memancing, kerap menonton penampakan hantu tersebut.
Selain sosok Wewe Gombel, pohon rambutan berikut terhitung dihuni oleh keluarga Kelong Wewe, yang terdiri dari papa ibu, dan anak. sebagian berasal dari kami pernah ditampaki keluarga Kelong Wewe berikut Uniknya seringkali Kelong Wewe selanjutnya menyerupai manusia.
Kelong Wewe lelaki dan Kelong Wewe bocah menyerupai orang di desa kita bernama Wihad dan anaknya yang bernama Reza. Maka dari itu kita memanggilnya dengan sebutan Kelong Wihad dan Kelong Reza. sementara Kelong perempuan sering menyerupai kakak nenek, kadang-kadang Kelong Wewe bocah juga menyerupai anak Mbah Abu.
Tentu saja mereka menampakkan diri di sedang malam. beberapa kerabat yang hendak ke mushola untuk sholat malam kerap berpapasan dengan hantu tersebut dikala disapa mereka dapat menjawab dengan deheman “Heeem”. isyarat hadirnya mereka dikenali dengan suara sandal basah.
Suatu hari aku tidur berbarengan kakek, kamar kakek terletak di samping berjalan yang biasa dilalui oleh hantu berikut Dini hari saya mendengar suara sandal basah, sementara dilihat di jendela benar saja Kelong Wihad tetapi menggendong Kelong Reza.
Nah, yang kerap ditampaki oleh mereka ya Mbah Wir, gara-gara memanglah saat memancing pulangnya larut malam.